terasmalut.id, JAILOLO — Pengelolaan Destinasi wisata Rappa Pelangi Desa Bobanehena Kecamatan Jailolo, yang diambil alih Pemerintah Daerah Halmahera Barat (Halbar) Provinsi Maluku Utara, disebut bak perampokan.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi II DPRD Halmahera Barat, Dasril Hi. Usman dalam Rapat pembahasan KUA-PPAS APBD 2024 bersama Disparpora, Badan Keuangan, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta Dinas Pertanian diruang rapat DPRD setempat. Jumat 13 Oktober 2023.
Sampai saat ini, Dasril bahkan mengaku belum mendapatkan kronologis terkait dengan pengambil alihan pengelolaan wisata Rapa pelangi, yang awalnya milik desa dan dibangun diatas lahan warga dengan sumber anggaran dari desa tetapi kemudian menjadi hak milik pemerintah daerah.
“Maksud saya, kalau ini milik desa yang di inisiatif oleh masyarakat setempat harusnya dibiarkan saja dikelola oleh masyarakat, dan Pemda mestinya cukup membantu dengan melihat kekurangan dan kebutuhannya yang bisa menunjang pengembangan wisata tersebut. Bukan malah Justru diambil alih,”ujarnya.
Misalnya masih kekurangan dari sisi SDM, kata Dasril, yang seharusnya dilakukan oleh Pemda yaitu membantu mendorong SDM-nya. Agar infrastruktur yang domainnya dari pemerintah desa tetap dikelola oleh masyarakat setempat.
Karena di undang-undang pariwisata, menyatakan bahwa pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan pendanaan pariwisata baik itu secara personality maupun secara kelompok
“Artinya pengelolaan wisata baik secara kelompok maupun secara pribadi pemerintah daerah berkewajiban untuk membantu memberikan pendanaan dan itu yang diperintahkan oleh undang-undang,”katanya.
“Semangat masyarakat desa Bobanehena dalam membangun tempat rekreasi itu merupakan semangat gotong royong yang harus diapresiasi. Tetapi kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah daerah yang akhirnya terjadi penyerapan anggaran artinya ini membuktikan bahwa pemda kita tidak inovatif,”beber Dasril
Ketua DPC Partai PAN Halbar itu menyebutkan, Bahwa Pariwisata, Pertanian dan Kelautan merupakan tiga sektor unggulan yang melekat di komisi II. Namun pemerintah daerah dalam mengambil alih pengelolaan wisata Rappa pelangi tidak mampu mengemudikan kejayaan wisata tersebut.
Padahal sambung Dasril, awal mula wisata Rappa pelangi itu dibuka dan dibangun di atas lahan milik warga setempat, dan selanjutnya Pemda membeli lahan tersebut. Olehnya itu dirinya menilai bahwa pemda tidak punya kemampuan berfikir dalam menciptakan wisata di halbar, karena lahan itu dibeli oleh Pemda setelah adanya destinasi wisata disitu.
“Itu yang saya maksudkan perampokan atau ada intisari pembodohan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap masyarakat desa Bobanehena. apakah alasannya karena Pemda beriming-iming infrastruktur. Kenapa kok caranya semacam perampokan begitu,”sesalnya.
“Bahkan parahnya lagi, setelah diambil alih oleh pemerintah daerah pengunjungnya malah menurun berbeda jauh ketika dikelola oleh Desa yang masih unggul dalam menarik wisatawan mengunjungi wisata Rappa pelangi. harusnya kan lebih tinggi lagi karena Pemda memiliki hak sepenuhnya dalam pengelolaan wisata Rappa pelangi,”sambung Dasril.
Bulan Desember mendatang, Ketua Komisi II itu mengaku akan melakukan reses di desa Bobanehena untuk dibicarakan dengan Masyarakat secara terperinci terkait pengelolaan wisata Rappa pelangi.
“Masyarakat desa Bobanehena satu-satunya desa di Halmahera Barat yang menjadi penyumbang suplai APBD terbesar sehingga wisata Rappa pelangi itu tidak bisa dikelola oleh pemerintah daerah karena tidak akan maju. Memang pemda menyediakan Pokdarwis tetapi sampai saat ini tidak pernah difasilitasi pelatihan terkait masyarakat sadar wisata saja, jadi percuma,”pungkasnya.*(Ghez)