terasmalut — Distribusi minyak tanah bersubsidi di wilayah Halmahera Barat (Halbar) Provinsi Maluku Utara, diduga kuat mengalami penyimpangan. Data resmi menunjukkan kuota minyak tanah sebesar 525 ton per bulan, namun hanya 418 ton yang sampai ke masyarakat melalui PT. Melinda.
Sementara 107 ton disebut-sebut didistribusikan oleh PT. Bromida yang diduga dimiliki juga oleh Pemilik PT.MELINDA ini Selisih sebesar 47 ton ini memunculkan pertanyaan publik tentang ke mana larinya sisa kuota tersebut.
Pemilik PT. Melinda, yang biasa disapa Ci Lan, sebagai salah satu agen penyalur utama di wilayah ini, menjadi sorotan utama. Saat dikonfirmasi oleh awak media di kantornya di Desa Porniti, Kecamatan Jailolo, pihak perusahaan enggan memberikan klarifikasi. Admin perusahaan, Eva, hanya menyatakan bahwa “Ci Lan No komen,” tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Sikap tertutup ini menimbulkan spekulasi di kalangan masyarakat bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Terlebih, pihak perusahaan tidak memberikan akses atau informasi tambahan ketika diminta menunjukkan data distribusi riil per bulan.
Sudirman, penanggung jawab armada PT. Malinda Sejahtera, yang menangani logistik minyak tanah, mengakui bahwa pihaknya hanya bertugas untuk proses bongkar muat.
“Kami hanya khusus pembongkaran dan pemuatan. Jumlah yang kita angkut memang 418 ton,” jelasnya, sembari mengarahkan awak media untuk mengonfirmasi langsung ke kantor pusat.
Namun, Menurut salah seorang warga, pernyataan tersebut bertentangan dengan keterangan yang sebelumnya disampaikan oleh pemilik agen PT. Melinda dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Dalam video dokumentasi RDP, pemilik PT. Melinda, menyebutkan bahwa kuota yang disalurkan setiap bulan mencapai 550 ton. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding jumlah realisasi terbaru.
Masyarakat pun mempertanyakan inkonsistensi tersebut. Seorang warga menilai perbedaan data antara RDP, data BPH Migas, dan realisasi di lapangan merupakan indikasi lemahnya pengawasan dan potensi praktik manipulasi distribusi.
“Kalau BPH Migas mencatat 572 ton, kenapa hanya 418 ton yang sampai? Ini bukan selisih kecil,”ujarnya.
Tidak hanya itu, pemilik pangkalan minyak tanah juga mengeluhkan kuota yang tidak sesuai. Berdasarkan SK Bupati, kuota untuk pangkalannya sebesar 5.000 liter, tetapi yang diterima hanya 3.000 liter.
“Selisih 2.000 liter itu kemana? Kita tidak pernah diberi penjelasan padahal uangnya sudah di transfer sesuai kebutuhan kuota 5 ton,”keluhnya.
Masalah semakin rumit ketika ada pengakuan bahwa sebagian kuota disebut dialihkan untuk “extra doping” atau kebutuhan tambahan di luar distribusi reguler. Hal ini belum terkonfirmasi secara resmi, namun informasi tersebut sudah beredar luas di kalangan pengecer dan pemilik pangkalan.
Ketidakterbukaan informasi dari agen penyalur membuat masyarakat kehilangan kepercayaan. Distribusi minyak tanah bersubsidi menyangkut kebutuhan dasar masyarakat, sehingga setiap ketidaksesuaian data wajib dijelaskan secara transparan.
Hingga saat ini, belum ada tindakan tegas dari pemerintah daerah maupun aparat pengawas energi terhadap dugaan penyimpangan ini. Padahal, peran pemerintah sangat penting dalam menjamin keadilan distribusi bahan bakar subsidi.
Banyak pihak mendesak agar dilakukan audit menyeluruh terhadap proses distribusi minyak tanah oleh PT. Melinda, termasuk pemeriksaan data riil pengiriman dari pemasok hingga penyaluran ke pangkalan.
Pengawasan distribusi bahan bakar bersubsidi seharusnya menjadi prioritas, terutama di wilayah-wilayah terpencil seperti Halmahera Barat, di mana masyarakat sangat bergantung pada minyak tanah untuk kebutuhan harian mereka.
Ketidakjelasan distribusi ini bukan hanya soal angka, tapi juga mencerminkan lemahnya sistem kontrol, transparansi, dan integritas dalam rantai pasok energi daerah. Ini bisa menjadi preseden buruk bagi penyaluran subsidi lain jika tidak segera ditindaklanjuti.*(Red/tm01).