Halmahera Barat — Kebijakan Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat yang memutus total kuota distribusi minyak tanah secara sepihak menuai protes dari salah satu pengusaha lokal. Ia menyebut keputusan tersebut bukan hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga mencederai prinsip keadilan dan etika kerja sama.
Pengusaha yang telah mengelola distribusi selama lebih dari dua dekade itu menilai langkah ini sarat dengan kepentingan politik dan dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas.
“Kami merasa sangat dirugikan. Ini bukan sekadar pemotongan kuota, tapi seperti pengambilalihan paksa atas hak distribusi yang selama ini kami kelola,” ujarnya kepada awak media, Rabu (21/5).
Menurut pengusaha tersebut, sebelumnya ia memperoleh jatah distribusi sebesar 20 ton minyak tanah.
Namun, kuota tersebut tiba-tiba dihentikan tanpa penjelasan yang memadai dari pihak terkait. Ia menyebut keputusan itu diambil oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Halmahera Barat, dalam hal ini Kepala Dinas Zefanya Murary, dan menilai terdapat indikasi kuat adanya muatan politis pasca-dinamika Pilkada sebelumnya.
“Ini sudah tidak lagi murni persoalan teknis. Ada indikasi kuat bahwa keputusan ini dipengaruhi oleh kepentingan politik lokal. Dan kami yang menjadi korbannya,”katanya.
Ia menegaskan bahwa selama lebih dari 25 tahun ia menjalin kerja sama dengan pihak agen dan aktif mendistribusikan minyak tanah secara legal dan tertib. Namun, hingga kini tidak ada perlindungan atau komunikasi yang memadai dari agen maupun pemerintah daerah terkait kelangsungan usaha yang telah ia rintis.
“Kami membangun distribusi ini dari nol. Selama ini tidak pernah terlibat pelanggaran serius. Tapi tidak ada penghargaan atau perlindungan terhadap kontribusi kami,”lanjutnya.
Pengusaha itu juga menegaskan bahwa minyak tanah merupakan barang milik agen, dan sebagai mitra, ia memiliki hak atas kuota yang dijalankan selama masa kontrak masih berlaku. Pemutusan sepihak di tengah masa kontrak, menurutnya, melanggar etika kerja sama dan berpotensi bertentangan dengan aspek hukum.
“Kontrak kami belum berakhir, namun kuota sudah dihentikan. Itu bukan hanya tidak etis, tetapi juga patut dipertanyakan dasar hukumnya,”ujarnya.
Ia juga meminta agar kebijakan seperti ini disertai transparansi dan akuntabilitas yang jelas, bukan didasarkan pada tekanan atau pertimbangan di luar prosedur hukum dan administratif.
“Kalau ini memang soal aturan, maka seharusnya dijelaskan secara terbuka. Jangan malah membuat kami merasa hak kami diabaikan dan diinjak-injak,”tutupnya.
Pengusaha ini berharap agar pemerintah daerah segera memberikan klarifikasi dan menyelesaikan persoalan ini secara adil demi keberlangsungan usaha dan kepentingan masyarakat luas yang bergantung pada distribusi minyak tanah.
Ia juga menyoroti kurangnya komunikasi dari pihak agen dalam menyampaikan keputusan pemutusan kuota.
Menurutnya, pihak agen seharusnya memberikan informasi secara resmi dan tertulis kepada mitra distribusi sebagai bentuk profesionalisme. “Kami tidak pernah menerima surat resmi atau pemberitahuan tertulis. Semua informasi hanya disampaikan secara lisan dan tidak ada kejelasan,”ujarnya.
Selain itu, ia menegaskan bahwa keputusan ini berpotensi berdampak pada mata pencaharian puluhan karyawan dan pekerja lapangan yang selama ini bergantung pada jalur distribusi tersebut.
“Usaha ini bukan hanya milik saya. Ada banyak keluarga yang menggantungkan hidupnya dari sini. Pemutusan kuota ini akan menghancurkan kehidupan mereka,”tambahnya.
Ia mengaku telah berusaha mencari klarifikasi langsung ke instansi terkait, namun hingga saat ini belum mendapatkan tanggapan yang memadai dari pihak Disperindagkop.
“Kami sudah beberapa kali mendatangi kantor dinas, tapi tidak pernah ada penjelasan resmi. Semua seperti ditutup-tutupi,”ujarnya dengan nada kecewa.
Menurutnya, jika memang terdapat kebijakan baru terkait penyaluran minyak tanah, seharusnya dilakukan dengan mekanisme yang transparan dan memberi ruang dialog dengan para pelaku usaha.
“Kami tidak anti-perubahan, tapi harus ada keadilan dan partisipasi. Bukan keputusan sepihak yang penuh dengan misteri,” tegasnya.
Ia juga mendesak pihak legislatif daerah untuk turut mengawasi dan menginvestigasi dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam pemutusan kuota ini.
“Kami minta DPRD Halbar ikut mengawasi. Jangan sampai keputusan seperti ini dibiarkan tanpa evaluasi dan pengawasan,”katanya.
Lebih lanjut, ia berharap aparat penegak hukum dapat mengusut apakah terdapat pelanggaran hukum dalam pemutusan kerja sama distribusi ini.
“Jika ada unsur pelanggaran hukum, kami berharap bisa diproses secara adil. Kami siap memberikan data dan bukti,”ujarnya.
Ia menyatakan akan terus memperjuangkan haknya melalui jalur hukum apabila tidak ada penyelesaian yang adil dari pemerintah daerah.
“Kami sedang mempertimbangkan langkah hukum, termasuk gugatan perdata, karena kerugian kami sangat besar,”ungkapnya.
Kasus ini mencerminkan pentingnya tata kelola distribusi energi yang transparan dan bebas dari intervensi politik, agar tidak merugikan pelaku usaha dan masyarakat secara luas.*(Tm/Red)